Wait Me, I’ll Be Back Soon.
Begitu sampai di airport dengan segera Lingga menggeret koper nya sedikit terburu-buru, tidak peduli dengan beberapa pasang mata yang menatap nya penuh tanya, yang ada di dalam kepala Lingga sekarang hanya lah Aileen dan juga Bibi.
Tidak. Lingga tidak memikirkan hal negatif di antara kedua nya, yang Lingga pikirkan saat ini adalah bagaimana cara nya berpisah dengan kedua gadis tersebut. Bagaimana cara nya ia mengucapkan perpisahan tanpa kesedihan yang berarti, sebab, Lingga tidak ingin menangis lagi.
Jadi, saat kedua mata elang nya menatap presensi Aileen dan Bibi yang sial nya sama-sama sadar dengan kedatangan nya, Lingga mulai menarik nafas panjang. Kembali memanjatkan harap agar hari ini bisa berjalan sesuai rencana nya, pergi tanpa sedih.
“Hai?”
Sapa nya yang membuat kedua gadis disana sama-sama melambaikan tangan nya. Mungkin saat ini Lingga terlihat seperti bajingan yang akan meninggalkan dua gadis dengan sengaja, meskipun kenyataan mengatakan iya, setidaknya kata bajingan itu termasuk pengecualian.
“Lama, ya?”
Aileen menggelemgkan kepala nya berusaha untuk bersikap biasa aja, karena jujur sejak tadi aura Bibi terlihat begitu mengintimidasi entah untuk sebab apa. Aileen tidak ingin tau maupun mencoba mencari tau, karena, ia sadar diri siapa ia disana.
Karena, keterlambatan nya Lingga tidak mempunyai cukup waktu untuk berbincang dengan kedua gadis tersebut. Jadi, saat pengumuman keberangkatan nya terucap dengan segera Lingga pergi menuju ke arah Bibi. Nafas nya memberat sebab lagi-lagi presensi Bibi masih memberikan efek yang luar biasa menyakitkan untuk nya.
“Let’s end this. Setelah gue pergi, gue harap semua yang gue tinggalkan jangan lo tangisi terlalu larut, ya?” ucap Lingga pelan tepat di hadapan Bibi, tepat di kedua netra mantan kekasih nya tersebut.
“Harus banget pergi, ya? Kamu nggak mau denger dulu penjelasan aku? Aku bisa — ”
Lingga menggeleng tegas, memotong segala macam pembelaan yang akan Bibi berikan. Lingga hanya ingin egois, sebentar saja. Setidaknya sampai luka-luka nya sembuh, sampai hati nya membaik meski ia tau itu tidak akan sepenuh nya pulih. “Nggak. Gue nggak mau denger apa-apa. Gue pergi untuk melepas semua nya, jadi jangan titipin penjelasan itu ke pundak gue, Bi.”
“Enough. I’ve forgiven you. Dan itu udah lebih dari cukup untuk semua yang lo kasih ke gue, kan? Gue nggak benci lo, nggak mau juga. Jadi, biarin gue pergi dengan perasaan ini, ya? Gue nggak mau ada dendam atau rasa sakit dari masa lalu untuk hidup gue yang baru disana, Bi. Boleh kan?”
Dan sebanyak apapun harapan yang coba Bibi gantungkan, sebanyak itu pula penolakan yang Lingga berikan. Menjadi sebuah deklarasi bahwa sampai akhir, Lingga memang sudah memilih untuk berhenti. Memilih untuk tidak lagi menjadi bagian dalam hidup nya, memilih untuk mengakhiri meski dirinya masih ingin melanjutkan segala nya tanpa henti.
Pada akhirnya, Bibi mengalah. Karena, semua nya memang sudah kalah, jadi ia hanya bisa menganggukkan kepala nya saat permintaan penuh gurat putus asa keluar dari mulut Lingga. “Take care. I’ll miss you a lot. I’m sorry for what I did to you. I’m deeply sorry.”
Bohong kalau Lingga tidak ingin menangis. Bohong kalau hati nya tidak terkikis, bukan ending yang seperti ini yang Lingga harapkan bersama Bibi. Pun bukan perpisahan semenyakitkan ini yang ingin ia berikan kepada Bibi, karena dia memang seharusnya tidak layak untuk segala rasa sakit ini. Tetapi, Lingga bisa apa? Bisa apa ia saat langkah nya saja sudah begitu terseok-seok? Bisa apa dirinya selain memilih untuk hidup masing-masing, karena dunia nya sudah hancur berkeping-keping.
“Thank you. I’ll miss you too. Jangan nunggu gue, ya? Apapun itu tetep lanjutin hidup lo, mimpi lo, semua cita-cita lo. Kita akan ketemu lagi kalau emang takdir mau kita bersatu, lagi.”
Lingga sudah mengangkat salah satu tangan nya untuk membawa Bibi ke dalam pelukan nya, sebelum akhirnya lengan itu hanya berakhir pada pipi Bibi, mengusap nya pelan lalu menarik nya dengan cepat. Karena, sekali lagi, Lingga tidak ingin memberi banyak harapan untuk Bibi. Tidak lagi.
“See you again, Bi.”
“See you again, Ngga.”
Kali ini ia pusatkan atensi nya pada gadis mungil lain nya yang sejak tadi hanya menatap nya dalam diam. Gadis yang sudah menahan tangis nya bahkan sejak kepala Lingga menyembul di antara khalayak ramai di penjuru bandara malam ini.
“Jangan nangis, tahan.” Ucap nya begitu melihat genangan pada mata Aileen yang sudah sangat siap membanjiri pipi tembam gadis tersebut. “Boleh gue peluk nggak? Kan waktu itu lo yang kasih gue peluk, sekarang gantian. Boleh?”
Namun, genangan itu tentu tidak bertahan lama. Karena, sejak Lingga meminta izin untuk memeluk nya dan membawa tubuh nya pada dekapan hangat Lingga, Aileen sudah menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala kesedihan yang sudah sangat lama ia tahan.
“Gue bilang kan jangan nangis, Ai..”
Tetapi, Aileen justru semakin menangis saat merasakan bagaimana lembut nya usapan Lingga pada belakang kepala nya. Bahkan saat Lingga menundukkan kepala laki-laki itu tepat di sisi kepala nya, Aileen semakin terisak hebat. Sebab, ini adalah yang terakhir. Sebab, setelah ini semua nya akan kembali seperti semula.
“I’m sorry, ya? I didn’t mean it. Tapi gue harus pergi, Ai. Semua sesak yang disini udah nggak bisa gue tahan. Gue mau sembuh dulu, seenggaknya sampai gue udah berani untuk menganggap semua yang terjadi kemarin, hanyalah takdir buruk gue.”
Dalam dekap hangat namun cukup menyakitkan tersebut, Aileen hanya bisa menganggukkan kepala nya. Semua nya terasa acak untuk bisa Aileen rekam pada jejak memori nya, tapi Aileen juga tau kalau dirinya tidak bisa egois. Kalau kebahagiaan Lingga adalah yang menjadi paling utama untuk laki-laki tersebut.
“Kak, jangan mikirin apa-apa lagi ya disana? Selain diri kamu sendiri. Kamu harus janji sama aku kalau disana kamu harus bahagia. Lupain dan tinggalin semua rasa sakit kamu disini, jangan pernah bawa itu kesana. Okay?” Ungkap nya terbata-bata sebab tangis nya masih menjadi melodi utama.
“Lo juga. Jangan mikirin gue terlalu banyak ya? I’ll be okay, gue janji. Gue janji akan sehat dan bahagia, gue janji nggak pernah bawa lagi semua rasa sakit gue disana. Is this enough?”
Tanya nya untuk yang terakhir kali, sebelum Lingga membawa wajah mungil Aileen yang sudah sangat merah untuk ia tangkup lembut, seraya menghapus air mata yang membasahi pipi tembam tersebut. “Wait me ya? I’ll be back soon.”
Menjadi kata-kata terakhir Lingga, sebelum akhirnya langkah kaki jenjang nya membawa ia pergi dari hadapan Aileen dan Bibi. Meninggalkan segala sesak yang Bibi berikan, serta harapan yang ia titipkan pada dasar hati Aileen. Lingga tidak tau pasti bagaimana masa depan nya nanti, namun untuk yang saat ini, Lingga hanya ingin menitipkan bahagia nya pada salah satu di antara kedua nya.
Tanpa pernah tau, akan menjadi apa dan bermuara pada siapa kebahagiaan itu di penghujung akhir hidup nya.
-fin.